Penerapan Denda Damai Dalam Perkara Tindak Pidana Penyelundupan Khususnya di Wilayah Perairan Nusa Tenggara Timur Dalam Perspketif Dominus Litis

Rosyid Pujilaksana, SH=Analis Penuntutan Kejaksaan Negeri Alor
Rosyid Pujilaksana, SH=Analis Penuntutan Kejaksaan Negeri Alor

Denda damai adalah penyelesaian perkara di luar hukum acara dapat diartikan bahwa penyelesaian perkara tanpa melimpahkan perkara ke persidangan (pengadilan) dengan pembayaran denda damai yang disepakati antara Kejaksaan (Jaksa Agung) dengan tersangka.[1] Eksistensi penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui mediasi penal merupakan dimensi baru yang dikaji dari aspek teoritis dan praktek. Mudzakkir mengemukakan beberapa kategorisasi sebagai tolok ukur dan ruang lingkup terhadap perkara yang dapat disesuaikan di luar pengadilan melalui mediasi penal adalah sebagai berikut[2]:

  1. “Pelanggaran hukum pidana tersebut tidak termasuk kategori delik aduan baik aduan yang bersifat absolut maupun aduan yang bersifat relatif.
  2. Pelanggaran hukum pidana tersebut memiliki pidana denda sebagai ancaman pidana dan pelanggar telah membayar denda tersebut (pasal 80 KUHP).
  3. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori pelanggaran bukan kejahatan yang hanya diancam dengan pidana denda.
  4. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk tindak pidana dibidang hukum administrasi yang menempatkan sanksi pidana sebagai ultirum remedium.
  5. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori ringan/serba ringan dan aparat penegak hukum menggunakan wewenangnya untuk melakukan diskresi.
  6. Pelanggaran hukum pidana biasa yang dihentikan atau tidak diproses kepengadilan (deponer) oleh Jaksa Agung sesuai dengan wewenang hukum yang diambilnya.
  7.  Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori pelanggaran hukum pidana adat yang diselesaikan melalui lembaga adat”

Penyelesaian di luar sidang pengadilan suatu perbuatan pidana dikenal dengan berbagai istilah seperti Dr. Andi Hamzah, SH menulisnya dengan dading: perdamaian, musyawarah (schikking) penyelesaian secara damai (trausactie), penyesuaian (vergelijk) persetujuan mengakhiri suatu perkara yang sedang berlangsung atau mencegah timbulnya suatu perkara. Perdamaian itu harus diadakan secara tertulis dan mempunyai kekuatan keputusan yang sudah pasti antara kedua belah pihak (kracht van gewijsde) dalam beberapa persengketaan tidak dibenarkan mengadakan perdamaian seperti mengenai sengketa tentang hak yang tidak terletak dalam penguasaan para pihak Pasal 1857-1864. Dikenal juga kebiasaan dalam BW, delik ekonomi di Indonesia (terutama delik penyelundupan).[3]

Bacaan Lainnya

Materi pasal 82 KUHPidana diterjemahkan oleh beberapa penulis hukum pidana seperti di bawah ini. Prof. Moeljatno, SH menulis sebagai berikut[4] :

  1. “Kewenangan menuntut pelanggaran yang diancam denda saja, menjadi hapus, kalau dengan sukarela dibayar maksimum denda dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan kalau penuntutan telah dimulai atas kuasa pejabat yang ditunjuk untuk itu oleh aturan-aturan umum dan dalam waktu yang ditetapkan olehnya.
  2. Jika di samping denda ditentukan perampasan, maka barang yang dikenai perampasan harus diserahkan pula, atau harganya harus dibayar menurut taksiran pejabat tersebut dalam ayat (1).
  3. Dalam hal-hal pidana diperberat karena pengulangan, pemberatan itu tetap berlaku, sekalipun kewenangan menuntut pidana terhadap pelanggaran yang dilakukan lebih dulu telah hapus berdasarkan ayat 1 dan ayat 2 pasal ini.
  4. Ketentuan-ketentuan dalam pasal ini tidak berlaku bagi orang yang belum cukup umur yang pada saat melakukan perbuatan belum berumur enam belas tahun”.)

Pasal 10 KUHPidana menempatkan pidana denda di dalam kelompok pidana pokok sebagai urutan terakhir atau keempat sesudah pidana mati, pidana penjara dan pidana kurungan.[5]Hukum acara pidana dikenal adanya suatu badan khusus yang diberi wewenang untuk melakukan penuntutan kepengadilan yang disebut penuntut umum hal tersebut terlihat dalam Pasal 1 butir 6 huruf a dan b dan Pasal 137 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut :

  1. Pasal 1 butir 6 huruf a :

Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

  • Pasal 1 butir 6 huruf b :

Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

  • Pasal 137 Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwakan melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dan melimpahkan perkara kepengadilan yang berwenang mengadili.

Sedangkan mengenai asas oportunitas diatur dalam Pasal 35c Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dengan tegas menyatakan asas oportunitas dianut di Indonesia. Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut: “Jaksa Agung dapat mengenyampingkan perkara berdasarkan kepentingan umum”. [6]

Pada aktifitas Pelayaran di wilayah perairan Nusa Tenggara Timur dalam pengertiannya yaitu suatu kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan perairan, kepelabuhan, keselamatan dan keamanan pelayaran untuk melakukan usaha pengangkutan antara pelabuhan Indonesia tanpa memandang jurusan yang ditempuh satu dan lain dengan ketentuan yang berlaku.[7]

Pelaksanaan penegakan hukum di bidang pelayaran menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka menunjang keefektifitasan pelayaran secara terkendali dan sesuai dengan asas penyelenggaraan pelayaran sehingga pelayaran dapat berjalan berkelanjutan dengan lebih baik khususnya di wilayah Nusa Tengara Timur dimana termasuk dalam wilayah hukum Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur. Oleh karena itu tindak pidana pelayaran diatur di dalam kitab Undang-undang hukum pidana (KUHP) yaitu di dalam buku kedua tentang kejahatan yaitu kejahatan pelayaran yang diatur di dalam Pasal 466, 469 dan buku kedua tentang pelanggaran yang diatur dalam Pasal 560, dan 561.

Ketentuan pelayaran pada Undang-Undang Pelayaran. Tidak dilaksanakannya manajemen ataupun prosedur keselamatan seperti melayarkan kapal yang tidak laik laut merupakan pelanggaran hukum. Seperti adanya nakhoda yang melanggar prosedur keselamatan untuk penumpang maka akan berakibat hukum seperti yang ditegaskan dalam Pasal 302 Undang-Undang No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.[8]

Pasal 302

(1) Nakhoda yang melayarkan kapalnya sedangkan yang bersangkutan mengetahui bahwa kapal tersebut tidak laik laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah)

(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian seseorang dan kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah)

Selain dari tindak pidana pelayaran, hal demikian juga berkorelasi pada tindak pidana penyelundupan. Pada umumnya penyelundupan itu terdiri dari dua jenis yakni penyelundupan impor dan penyelundupan ekspor. Penyelundupan impor adalah suatu perbuatan memasukan barang-barang dari luar negeri ke dalam wilayah Indonesia dengan tidak melalui prosedur yang ditentukan bagi pemasukan barangbarang dari luar negeri. Sedangkan penyelundupan ekspor adalah pengeluaran barang-barang dari Indonesia ke luar negeri tanpa melalui prosedur yang ditentukan untuk itu.[9]

Beredarnya produk-produk luar negeri di pasaran domestik yang merupakan produk yang terkena ketentuan larangan dan pembatasan, seperti pakaian bekas, elektronik bekas, rokok produk luar negeri yang tidak dilekati pita cukai Indonesia, minuman keras minuman mengandung etil alkohol (MMEA) dan produk-produk lainnya. Hal tersebut membuktikan masih terdapat praktik pemasukan barang impor secara ilegal atau tindak pidana penyelundupan yang tidak memenuhi ketentuan dalam peraturan perundangundangan bidang kepabeanan ke dalam wilayah Republik Indonesia.[10]

Undang-Undang Kepabeanan sendiri secara eksplisit sama sekali tidak menyebutkan arti dari penyelundupan. Namun dari beberapa pasalnya, unsur-unsur penyelundupan dapat dilihat pada Pasal 102 UU No. 17 Tahun 2006, yaitu:[11]

  1. Mengangkut barang impor yang tidak tercantum dalam manifes sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (2);
  2. Membongkar barang impor diluar kawasan pabean atau tempat lain tanpa izin kepala kantor pabean;
  3. Membongkar barang impor yang tidak tercantum dalam pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (3);
  4. Membongkar atau menimbun barang impor yang masih dalam pengawasan pabean di tempat selain tempat tujuan yang ditentukan dan/atau diizinkan;
  5. Menyembunyikan barang impor secara melawan hukum;
  6. Mengeluarkan barang impor yang belum diselesaikan kewajiban pabeannya dari kawasan pabean atau dari tempat penimbunan berikat atau dari tempat lain di bawah pengawasan pabean tanpa persetujuan pejabat bea dan cukai yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan negara berdasarkan Undang-Undang ini;
  7. Mengangkut barang impor dari tempat penimbunan sementara atau tempat penimbunan berikat yang tidak sampai ke kantor pabean tujuan dan tidak dapat membuktikan bahwa hal tersebut di luar kemampuannya; atau
  8. Dengan sengaja memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang impor dalam pemberitahuan pabean secara salah, dipidana karena melakukan penyelundupan di bidang impor dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).”

Pasal 102A UU No. 17 Tahun 2006 memperjelas tentang tindak pidana penyelundupan yang terdiri dari:

Setiap orang yang:

  1. Mengekspor barang tanpa menyerahkan pemberitahuan pabean;
  2. Dengan sengaja memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang ekspor dalam pemberitahuan pabean secara salah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11A ayat (1) yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan negara di bidang ekspor;
  3. Memuat barang ekspor di luar kawasan pabean tanpa izin kepala kantor pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11A ayat (3);
  4. Membongkar barang ekspor di dalam daerah pabean tanpa izin kepala kantor pabean; atau
  5. Mengangkut barang ekspor tanpa dilindungi dengan dukumen yang sah sesuai dengan pemberitahuan pabean
  6. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9A ayat (1) dipidana karena melakukan penyelundupan di bidang ekspor dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).”

Wewenang penuntutan dipegang oleh penuntut umum sebagai monopoli artinya tiada badan lain yang boleh melakukan itu. Ini disebut dominus litis di tangan penuntut umum atau jaksa. Dominus berasal dari bahasa latin yang artinya pemilik. Hakim tidak dapat meminta supaya delik diajukan kepadanya. Jadi hakim hanya menunggu saja penuntutan dari penuntut umum.[12]

Berdasarkan pasal 82 KUHPidana jelas diketahui bahwa penyelesaian di luar sidang pengadilan hanya berlaku untuk pelanggaran tertentu yaitu pelanggaran yang semata-mata diancam dengan hukuman denda dan tidak terhadap pelanggaran yang diancam dengan hukuman yang alternatif. Penyelesaian di luar sidang pengadilan merupakan suatu cara menggugurkan hak menuntut terhadap pelanggaran yaitu dengan cara membayar hukuman denda yang tertinggi sebagaimana diancam terhadap pelanggaran itu.

Bahwa seperti pada contoh terhadap biaya penanganan perkara yang harus dikeluarkan oleh negara untuk proses penyidikan barang hasil tindak pidana seperti pada perkara penyelundupan pakaian bebas (ballpress) atau barang dengan bea masuk nol persen melalui jalur laut termasuk merupakan kerugian negara. Karena negara harus mengeluarkan sejumlah uang untuk perkara yang tidak ada pungutan bea masuknya. Sedangkan untuk menggunakan mekanisme lelang sebagai upaya pengembalian kerugian negara juga tidak bisa dilakukan karena pakaian bebas (ballpress) merupakan barang yang dilarang untuk di ekspor-impor.[13]

Mekanisme penyelesaian secara non litigasi (denda damai) adalah pelaku atau tersangka akan diberikan pengampuan apabila ia telah memenuhi kewajiban pembayaran sejumlah denda sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 113 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan. Penyelesaian dengan kewajiban pembayaran denda damai adalah karena secara sosioligis denda damai merupakan :

  1. Kewajiban pembayaran sejumlah denda yang ditanggungkan akan dibayar oleh pemilik perusahaan bukan penanggung jawab perusahaan;
  2. Pembayaran denda dimaksud akan berdampak langsung pada penerimaan negara, dimana kerugian keuangan negara akan dapat dipulihkan dengan pembayaran denda tersebut

Mekanisme denda damai dapat dilakukan apabila dipenuhi persyaratan dasar-dasar pertimbangan hukum yang kuat, yakni:

  1. Tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana (first offender) atau bukan pengulangan tindak pidana (recedieve);
  2. Tersangka mengakui tindak pidana yang dilakukannya;
  3. Tersangka berjanji tidak mengulangi perbuatannya;
  4. Adanya relasi (hubungan khusus) antara tersangka dan korban;
  5. Tersangka mengajukan permohonan penghentian penyidikan kepada Menteri Keuangan dengan tembusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai;
  6. Tersangka wajib melunasi Bea Masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) yang tidak atau kurang dibayar, ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda empat kali jumlah Bea Masuk yang tidak atau kurang dibayar;
  7. Untuk mengetahui besarnya jumlah Bea Masuk dan PDRI yang tidak atau kurang dibayar, tersangka harus meminta informasi secara tertulis kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai;
  8. Jumlah Bea Masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) yang tidak atau kurang dibayar dihitung berdasarkan berita acara pemeriksaan ahli pada saat penyidikan;

Pengajuan permohonan penghentian penyidikan tersebut harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:

  1. Diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan menyatakan pengakuan bersalah dan melunasi sejumlah Bea Masuk dan PDRI yang tidak atau kurang dibayar;
  2. Ditandatangani oleh tersangka;
  3. Dilampiri dengan surat setoran pajak dan/atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan surat setoran pajak sebagai bukti pelunasan jumlah Bea Masuk dan PDRI yang tidak atau kurang dibayar.

Tahap Pertama, setelah menerima permohonan dari tersangka, Menteri Keuangan meminta ahli untuk meneliti dan memberikan pendapat secara tertulis sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Tahap Kedua, dengan mempertimbangkan hasil penelitian dan pendapat secara tertulis dari para ahli, Menteri Keuangan memutuskan untuk menyetujui atau menolak permohonan tersangka. Dalam hal Menteri Keuangan menyetujui permohonan tersangka, Menteri Keuangan menyampaikan surat permintaan penghentian penyidikan kepada Jaksa Agung disertai dengan surat setoran pajak dan/atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan surat setoran pajak. Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan penghentian penyidikan diajukan.[14]

Adapun perkara penyelundupan di wilayah perbatasan dapat diselesaikan melalui pendekatan pembayaran uang damai / restorasi yang hanya perkara penyelundupan yang berdampak pada penerimaan negara (perekonomian negara).

Di Indonesia dalam hal Schikking perkara-perkara penyelundupan dipakai dasar asas oportunitas (Pasal 35 huruf c UU Nomor 16 Tahun 2004) dan dilekatkan syarat-syarat pendeponeren yaitu pembayaran denda damai yang disetujui antara pihak kejaksaan dan tersangka. Suatu masalah yang muncul dalam praktek ialah hubungan antara penyelesaian di luar acara (Schikking) nebis in idem.[15]

Asas ini berarti tidak dapat lebih dari satu kali suatu sengketa atau perkara yang sama diajukan kemuka sidang pengadilan. Dalam hal ini timbul dua pendapat mengenai hal ini :

  1. “Bahwa suatu perkara yang telah diselesaikan di luar acara (Schikking) tidak dapat di majukan dimuka persidangan pengadilan lagi karena :
  2. Tidak ada keputusan Jaksa Agung mengenai penyelesaian di luar acara sesuai dengan asas oportunitas yang ada di tangan Jaksa Agung.
  3. Tersangka telah membayar denda damai yang merupakan sanksi juga.
  4. Berdasarkan atas apa yang tercantum di atas sesuai “The Rule of Law” dan kepastian hukum maka perkara yang telah diselesaikan di luar acara (schikking) tidak dapat dimajukan lagi kemuka persidangan pengadilan. Jadi berlaku asas nebis in idem.
  5. Bahwa karena belum ada keputusan hakim, maka masih dapat dimajukan kepersidangan pengadilan. Ini sesuai arti logat (letterlijk) dari asas nebis in idem yang berarti belum ada keputusan hakim”.

Asas dominus litis tidak dapat dilepaskan dari asas opurtunitas yang dikonkritkan dalam Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan sebagai kewenangan yang konstitusional berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29/PUU-XIV/2016. Sebagai dominus litis dalam perkara pidana, Jaksa Agung dapat sewaktu-waktu mengeyampingkan perkara demi kepentingan umum. Kewenangan ini merupakan exclusive authority yang hanya diberikan kepada Jaksa Agung dan tidak kepada penegak hukum lainnya. Mahkamah Konstitusi dalam berbagai pendapat/pertimbangan hukumnya secara eksplisit mendudukkan jaksa selaku penuntut umum sebagai dominus litis dalam perkara pidana sebagai berikut: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XI/2013. Dalam halaman 70, Mahkamah mempertimbangkan bahwa “Fungsi Kejaksaan dan profesi jaksa sebagai penyelenggara dan pengendali penuntutan atau selaku dominus litis memiliki peran penting dalam proses penanganan perkara yang pada hakikatnya bertujuan untuk membangun tata kehidupan yang berdasarkan hukum, serta menjunjung hak asasi manusia”.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29/PUU-XIV/2016. Dalam halaman 99, Mahkamah mempertimbangkan bahwa “Sebagai satu-satunya pemegang kewenangan penuntutan (dominus litis), Jaksa wajib melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan, namun Jaksa juga dapat menghentikan penuntutan, jika perkara tidak cukup bukti, perkara yang diperiksa ternyata bukan perkara pidana, atau perkara ditutup demi hukum (vide Pasal 140 KUHAP)”.[16]

Kejaksaan Agung juga telah menerapkan penghentian tuntutan berdasarkan kaidah keadilan restoratif. Berdasarkan Peraturan Kejaksaan Agung RI Nomor 15 Tahun 2020 bahwa perkara-perkara tertentu dihentikan penuntutannya apabila telah dilakukan penyelesaian perkara di luar pengadilan dengan menggunakan pendekatan keadilan restorative. Sebelum mengajukan berkas perkara ke pengadilan, Jaksa Penuntut Umum juga memberikan upaya perdamaian kepada tersangka dan korban. Penghentian penuntutan karena keadilan restoratif ini melengkapi mekanisme penghentian penuntutan karena alasan hukum dan pengesampingan perkara untuk kepentingan umum (seponering).[17]

DAFTAR PUSTAKA:

1.            Irwandi Syahputra, Tindak Pidana Kelautan, Modul Program Studi Ilmu Hukum Fisip Universitas   Maritim Raja Ali Haji, Tanjung Pinang, 2020

2.            Martono, Eka Budi Tjahjono, Transportasi Perairan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011

3.            Leden Marpung, SH., Tindak Pidana Penyelundupan Masalah Dan Pemecahannya, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1991

4.            Mudzakkir, Alternatif Dispute Resolution (ADR) Penyelesaian Perkara Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Makalah Workshop, Jakarta 18 Januari 2007

5.            Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia 1988

6.            Moeljatno., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta 1999

7.            R. Soesilo, KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor 1976

8.            R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Laut Bagi Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta, 1991

9.            Djoko Prakoso, Bambang Riyadi Lany dan Amir Muhsin, Kejahatan – Kejahatan yang Merugikan dan Membahayakan Negara, Cetakan 1, Bina Aksara jakarta, 1987

10.          Roselyne Hutabarat, 1997, Transaksi Ekspor-Impor , Jakarta: Erlangga

11.          Gunawan Widjaja, Jual Beli, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013

Peraturan Perundang-undangan

1.            Peraturan Kejaksaan Agung RI Nomor 15 Tahun 2020

2.            Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

3.            Undang-Undang Nomor 17 tahun 2008 Tentang Pelayaran

4.            Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan

5.            Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29/PUU-XIV/2016

6.            Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007

Jurnal

1.            Jurnal Borneo Administrator / Volume 9 / No. 2 / 2013

Internet

1.            https://www.antaranews.com/berita/3498996/bea-cukai-siagakan-kapal-di-atambua-cegah-penyelundupan-pakaian-bekas, diakses pada Hari Senin, 10 Juli 2023 Pukul 13.00 WIB

2.            https://www.hukumonline.com/berita/a/mendorong-pengaturan-asas-dominus-litis-dalam-rkuhap-lt63a2df457374f/, diakses pada Hari Senin, 10 Juli 2023.


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pos terkait