KALABAHI,RADARPANTAR.com-Penasehat Hukum (PH) Suku Halaang di Kabola mempertanyakan salah seorang warga keturunan Tianghoa di Kalabahi, Yonatan Candra yang mengklaim kurang lebih 5 hektar tanah di pesisit Pantai Paliboo adalah miliknya. Dari mana Yonatan Candra mendapatkan tanah di lokasi itu karena nenek moyang Suku Halaang tidak berceritera kapada anak cucunya jika tanah suku itu sudah menjadi milik orang lain.
Kuasa Hukum Suku Halaang, Lomboan Jahamou, SH kepada wartawan di lokasi tanah sengketa di Paliboo, Jumat (23/06/2025) mengatakan, Keluarga Besar Kabola terdiri dari berbagai macam suku. Yang kita ada duduk ini Halaang Bang. Tanah ini ada di Halaang sini dan milik Suku Halaang.
Kalau kita runut sejarah demikian Lomboan, tidak ada satu bukti yang menunjukan bahwa penggugat itu punya tanah disini. Tidak ada.
Kami ini selain sebagai penasehat hukum, kami juga orang asli disini dan suku besar juga. Sejak kami lahir, kami punya kaka-kaka dan kami punya orang tua tidak pernah ceritera bahwa ini tanah ini Orang Tianghoa atau orang Arab punya … tidak ada, jelas Lomboan.
Yang pernah kami dengar itu … dan kami bukan asal bicara, ada data dan ada bukti faktanya bahwa mereka (keluarga Tianghoa) pernah datang usaha disini dengan kesepakatan hasilnya dibagi dua, kata Lomboan, advokad asal PERADMI ini.
Tetapi menurut Lomboan, terjadi persoalan karena mereka tidak konsisten, mereka sendiri yang kelola, tidak mau bagi dua lagi hasilnya. Tetapi namanya orang kampung, siapa yang berani melawan orang yang ada uang di jaman Orde Baru, apalagi dekat dengan aparat.
Karena sudah keterlaluan sehingga salah satu orang tua di Palibo yang menyuruh potong kelapa yang ditanam di lokasi yang sekarang disengketakan, karena kelapa tanam di orang Kabola, Suku Halaang punya tanah.
Setelah potong pohon kelapa, mereka lapor polisi dan proses hukum sehingga warga yang potong kelapa masuk penjara, tetapi proses hukum dan masuk bui itu bukan masalah tanah, tetapi masalah pohon kelapa yang dipotong. Kalau waktu itu saya sudah jadi pengacara saya pastikan tidak masuk bui, karena orang bersihkan orang punya kebun koq, pungkas Lomboan.
Lomboan menegaskan bahwa ia berasama keluarga tidak pernah mengklaim tanah milik orang baru mau berperkara untuk menguasainya, tidak.
Tiba-tiba ada perkara antara Wakit dan salah seorang warga keturunan Tianghoa, mereka perkarakan kami punya keluarga punya barang, proses hingga Mahkama Agung putusannya NO. Mengapa karena locus tempos delikti-nya itu beda. Mereka omong Waindo yang mana, Palibo yang mana, Halaang yang mana mereka tidak tau. Karena memang bukan mereka punya barang, mana mereka mau tau.
Dahulu Orde Baru kata Lomboan, mereka menggunakan segala macam kekuatan, hingga ada oknum orang Pertanahan juga datang mau ukur RW keberatan, dia bilang saya tidak perlu RW, saya perlu Lurah. Ini apa-apaan.
Kalau keluarga Yonatan Candra mengklaim bahwa ini mereka punya tanah maka saya tantang mereka harus buktikan, ini tanah asal usul dari mana, mereka ambil dari mana, dia pung nenek moyang ambil dari mana, timpal Lomboan.
Lomboan mengaku bersyukur karena dari gugatan pihaknya sudah mengetahui bahwa Yonatan Candra dan keluarga mengaku tanah ini milik mereka karena pada Tahun 1920-an nenek moyang mereka yang datang tebas rimba di ini hutan.
Kita hargai mereka punya gugtan, namanya sudah masuk ke proses kita hargai, kita tinggal ada pembuktian di pengadilan baru yang mulai majelis hakim menilai, ini barang siapa punya, ujar Lomboan dan menegaskan kami ini dari orang tua nenek moyang tidak pernah bertutur, berpesan bahwa ini tanah milik orang asing.
Dikatakannya, kasus ini sedang dalam proses hukum di Pengadilan Negeri Kalabahi, sudah masuk dalam tahapan mediasi. Kalau kami keluarga kami siap bertarung hingga titik darah penghabisan, karena masalah tanah ini masalah harga diri, masalah martabat kampung ini. Satu jengkal-pun kami tidak kasih. Jangan datang klaim ini kamu punya barang.
Papan plang yang sudah dipasang lembaga hukum yang dipimpinnya itu sudah ada yang goyang karenanya Lomboan mengingatkan kalau suatu sengketa itu kalau sudah dibawah pengawasan suatu lembaga hukum, jangan cari masalah ko berurusan dengan aparat hanya gara-gara goyang itu papan plang.
Sedangkan salah satu ahli waris Suku Halaang, Yohanis D.L Bain mengatakan, persoalan tanah antara kami Suku Halaang dengan salah satu warga Keturunan Tianghoa itu muncul tahun 2016.
Yoahnis yang juga Ketua RW 03 Kelurahan Kabola, Kecamatan Kabola, Kabupaten Alor, waktu itu saudara Yonatan Candra bersama petugas Pertanahan dan petugas keamanan dalam hal ini Kepolisian Resort Alor. Mereka mau datang pengukuran di Palibo, di wilayah RW 03 Kelurahan Kabola.
Waktu itu sekitar Pukul 10.00 Wita pagi, masyarakat datanginya dan memanggilnya sebagai RW. “Bapak RW … cepat karena ada yang mau ukur tanah, salah seorang warga Tianghoa. Akhirnya langsung saya langsung turun di lokasi. Sampai di jalan naik Hota Nostalgia, mobil Dalmas sudah parkir. Saya sempat tanyakan, mohon maaf pak, pagi-pagi begini ada apa wilayah saya,” katanya bertanya.
Salah satu lokasi tanah milik Suku Halaang di Paliboo yang dikalim keluarga Yonatan Candra sebagai miliknya. FOTO: OM MO/RP
Ada mau pengukuran tanah, jawab aparat kepolisian kala itu. Selaku RW dan ahli waris suku Halaang, Yohanis bertanya tanah yang mau diukur ini atas nama siapa. Aparat kepolisian menjawab kalau tanah yang mau diukur kala itu atas nama Yonatan Chandra.
Saya bilang Pak … tidak ada orang Tianghoa punya tanah yang ada di saya punya, yang ada ini tanah milik orang Kabola. Orang Halaang punya tanah yang ada di Palibo sini, kisah Yohanis mengulang ceritera di tahun 2016.
Yohanis mengaku sementara soal jawab wilayah aparat kepolisian kala itu, datang petugas pertanahan dengan satu unit mobil, singgah di salah satu rumah keluarga Kabola. Saya bilang sebelum Pak melangka turun di lokasi adakan kegiatan pengukuran tanah … saya mau tanya dulu pak … tanah mana yang mau diukur, berdasarkan apa. Mereka bilang ini kita mau ukur tanah. Saya tanya atas nama siapa. Petugas pertanahan jawab Yonatan Candra. Saya jawab bilang dia punya tanah tidak ada disini pak. Sekarang saya sudah tutup, saya sudah taruh tanda larangan ini, dilarang siapapun orang masuk,” kisah Yohanis.
Dilanjutkannya, sebagai pemerintah setempat Yohanis mengaku mencegah pengukuran tanah waktu itu, kalau dipaksakan untuk masuk mengukur tanah dan terjadi resiko ia tidak bertanggung jawab.
Tiba-tiba sampai lah Yonatan Candra bersama Lurah Kabola waktu itu sampai di lokasi Edison Penali (almarhum). Saya bilang di mereka, Pak, ini tanah ini bukan milik Yonatan Candra … Yonatan Candra punya tanah tidak ada di Kabola sini, tidak ada di Kabola sini. Ini orang Kabola semua yang ada disini. Jadi, kalau Pak paksakan diri untuk adakan pengukuran, resiko saya tidak tanggung. Karena saya sebagai pemerintah saya harus cegah.
Setelah demikian Yohanis, mobil Dalmas dari Kepolian Resort Alor kemudian tinggalkan lokasi, disusul mobil petugas pertanahan. Yonatan Candra yang mengaku sebagai pemilik tanah juga pulang.
Pada tahun 2018, ia bersama para penggarap mendapat panggilan dari pertanahan untuk dilakukan mediasi. Sementara dalam proses mediasi bersama anak dari Yonatan Candra, datang lah salah seorang atas nama Wakit batalkan mediasi, Wakit mengaku kalau tanah yang mau dimediasi itu miliknya. Mediasi akhirnya batal.
Pada Tanggal 16 Maret 2025, dilakukan mediasi di Kantor Kelurahan Kabola. Mediasi dihadiri oleh keluarga yang sementara menggarap. Saya hadir sebagai pemerintah. Mediasi dipandu Lurah Kabola, Lukas Maata, kisah Yohanis menambahkan.
Pada saat mediasi, ada keluarga (Halaang Besar) yang mengatakan bahwa ini tanah orang Tianghoa punya jadi, berikan kepada mereka (orang Tianghoa) ko harus bagi. Saya keberatan dalam mediasi itu karena orang Tianghoa punya tanah tidak ada di Kabola. Tanah yang ada ini Keluarga Halaang punya.
Karena saya cegah tidak boleh adakan pembagian tanah sehingga mediasi berlanjut lagi tanggal 20 Maret 2025. Hadir semua, termasuk Mama Rispa Penalaana (Keluarga Halaang Besar). Ada bahasa yang muncul dalam mediasi kedua itu bahwa tanah harus dibagi tiga, dengan Yonatan Candra. Yonatan Candra tidak bersedia, bilang tanah saya punya ko mau dibagi?
Sebagai salah satu ahli waris, Yohanis Bain dalam mediasi ini tidak bersekikuh untuk tidak perlu membagi tanah kepada Yonatan Candra (salah seorang warga keturunan Tianghoa) karena bukan miliknya Yonatan Candra.
Saya siap diproses dimana saja, ujar Yohanis sembari menambahkan, terbukti saat ini Yonatan Candra melayangkan gugatan di Pengadilan Negeri Kalabahi, dan sedang dalam tahapan mediasi. *** morisweni