KALABAHI,RADARPANTAR.com-Penetapan mantan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Alor, Albert N. Ouwpoly, S.Pd, M.SI selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) Dana Alokasi Khusus (DAK) Pendidikan Tahun Anggaran 2019 sebagai tersangka dan dilakukan penahanan oleh Kejaksaan Negeri Alor dinilai masih prematur. Pasalnya, tidak ada dasar hukum yang dapat dijadikan pijakan bagi Inspektorat Daerah (IRDA) untuk menghitung kerugian negara. Apalagi dana DAK yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Karena itu hasil audit IRDA juga tak bisa dijadikan sebagai dasar dalam menghitung kerugian keuangan negara, lalu menetapkan Ouwpoly sebagai tersangka.
Secara garis besar dapat kami uraikan bahwa kalau kita merujuk kepada putusan Mahkama Konstitusi Nomor 25 Tahun 2016 yang menghapus kata dapat dalam Pasal 2 dan 3, sehingga delik yang sebelumnya delik formil berubah menjadi delik materil. Dalam artian, syarat mutlak seseorang disangkakan melakukan tindak pidana korupsi dengan disangkakan melanggar Pasal 2 dan 3 syarat mutlaknya harus ada perhitungan kerugian keuangan negara. Itu syarat mutlaknya. Syarat mutlak itu sampai saat ini belum terpenuhi oleh pihak penyidik dari Kejaksaan Negeri Alor, sebut penasehat hukum Albert Ouwpoly, Mario Lawung, SH, MH dalam jumpa pers dengan pekerja media, di Kalabahi, Jumat (28/01).
Dasar argumen yuridis juga terang Mario, terus terang bahwa pihaknya menyediakan semua dokumen yuridis yang berhubungan dengan perhitungan kerugian keuangan negara itu, yang pertama sudah kami sampaikan dalam permohonan yang menurut Kejaksaan Negeri Alor melalui jawaban bahwa mereka mendasarkan diri bahwa Inspektorat Daerah (IRDA) Kabupaten Alor berwewenang menghitung kerugian keuangan negara berdasarkan putusan Mahkama Konstitusi Nomor 31 Tahun 2012.
“Sebenarnya sah-sah saja. Ini intepretasi kita sebagai aparat penegak hukum. Jadi, intepretasi masing-masing tetapi kalau kita melihat lebih rinci apa itu isi putusan Mahkama Konstitusi Nomor 31 Tahun 2012 itu ternyata putusan Mahkama Konstitusi itu adalah putusan tentang pengujian Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar (UUD). Pengujian UU KPK yang diuji kepada UUD,” terangnya.
Sehingga ada pertimbangan majelis yang sudah kami sampaikan replik kami dan itu digunakan juga oleh termohon dalam hal pihak kejaksaan melalui jawaban mereka selaku termohon. “Bahwa menurut pertimbangan MK dalam putusan Nomor 31/BU/X/2012 Tanggal 8 Oktober 2012 yang menyatakan bahwa salah satu pertimbangan oleh sebab itu menurut mahkama KPK bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK dalam rangka pembuktian suatu tindak pidana korupsi melainkan dapat berkoordinasi juga dengan instansi lain bahkan bisa membuktikan sendiri diluar temuan BPKP dan BPK, misalnya dengan mengundang ahli atau meminta inspektorat jenderral atau badan yang mempunyai fungsi yang sama itu dari masing-masing instansi pemerintah bahkan dari pihak-pihak lain termasuk dari perusahaan yang dapat menunjukan kewenangan materil dalam perhitungan kerugian negara dan atau dapat membuktikan perkara yang sedang ditanganinya, sebagaimana yang dikutip dalam jawaban termohon,” ujarnya.
Jadi jelas Mario, sebenarnya pertimbangan MK ini merupakan pertimbangan yang diarahkan untuk KPK, bukan untuk untuk kejaksaan, bukan juga untuk kepolisian … hanya murni untuk KPK, karena kita harus baca putusan MK ini secara utuh, bukan sebaliknya membaca sepenggal-penggal sehingga kita bisa tahu intisari dari putusan ini seperti apa. Ada dalam pertimbangan.
Dia mengaku sudah dua kali melihat LHP Irda dalam persidangan, di LHP itu saya baca tetapi kita tidak punya hak untuk mendapatkan LHP itu. Tetapi seingat saya nilai kerugian negara Rp. 8.800.236. (delapan juta delapan ratus ribu dua ratus tiga puluh enam rupiah). Di bagian bawanya ada rekomendasi, kalau suatu audit lalu menghasilkan LHP dan dalam LHP itu bersifat rekomendasi maka dia bukan audit investigasi.
Atas dasar itu selaku penasehat hukum kami tegaskan penetapan Albert Ouwpoly sebagai tersangka dan penahanan dalam perkara dugaan korupsi DAK Pendidikan Tahun 2019 masih prematur.
Kejaksaan mengatakan sedang melakukan perhitungan pekerjaan yang lain, banyak sekolah yang lain. “saya pikir kita sudah sepakat semua dengan Keputusan MK Nomor 26, dengan dihapuskannya kata dapat maka tidak ada lagi namanya total los, tidak ada lagi yang namanya potensial los. Harus rill los … berapa kerugiannya. Harus ada kerugian keuangan negara yang nyata yang dihitung oleh lembaga yang berwewenang,” ungkapnya.
Sidang Pra Peradilan sampai dengan hari ini sudah masuk dalam kesimpulan pemohon dan termohon, tahapan sebelum keputusan persidangan.
Dijelaskan Mario, terungkap dalam persidangan, beberapa fakta baik dari pihak kami pemohon kami hadirkan bukti surat dan juga ahli, sedangkan dari pihak kejaksaan selaku termohon menghadirkan bukti surat dan satu saksi fakta. “Kami (pemohon) menghadirkan Pak Dedy Manafe ahli hukum pidana dari Fakultas Hukum Undana Kupang. Dan dari pihak Kejaksaan Negeri Alor menghadirkan satu saksi fakta yaitu Kasie Pidsus, Ardi Wicaksono,” sebut Mario.
Dijelaskan Mario, yang paling utama dari argumen kami mengapa kami mengajukan permohonan pra peradilan ini soal pemenuhan terhadap dua alat bukti, yakni soal pembuktian terhadap dua alat bukti ini, kami dari tim penasehat hukum pemohon tetap menggunakan rujukan terhadap apa yang disangkakan kepada klien kami (Albert Ouwpoly) melalui sprindik penetepan tersangka dan sprindik penahanan. Dimana klien kami disangkakan melanggar Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 KUHP sehingga kemudian muncul dua tersangka, Albert Ouwpoly dan Khairul Umam (PPK).
Selebihnya demikian Mario, dalam pertimbangan lebih lanjut itu MK menyatakan salah satu pertimbangan yang menjadi dasar membutuhkan KPK menurut penjelasan umum UU KPK adalah sebagai berikut, kenyataan mengenai sifat dan dampak yang luar biasa dari tindak pidana korupsi di indonesia sehingga seringkali dikatakan sebagai kejahatan luar biasa, maka dibentuk lah lembaga yang bersifat khusus yang dapat melakukan metode non konfensional dan atau cara-cara luar biasa yang diatur dalam Pasal 3 UU KPK yang menyatakan KPK merupakan lembaga negara yang dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari kekuasaan manapun. KPK adalah lembaga negara yang didirikan dengan tujuan untuk upaya melakukan khusus atau non konvensional dalam memberantas korupsi.
Maksud dari mahkama ini terang Mario, ada perbedaan antara KPK dengan kepolisian dan kejaksaan. Tidak dapat disamakan, karena KPK bukan dibawa kekuasaan eksekutif.
Nah, beda kalau yang diuji adalah UU Tindak Pidana Korupsi, mungkin bisa berlaku umum untuk penyidik selain penyidik KPK dalam hal ini kepolisian dan penyidik kejaksaan. Tetapi, selama yang diuji adalah UU KPK maka tidak bisa disamakan dengan penyidik kejaksaan atau penyidik polri juga bisa sama, jelas Mario menambahkan.
Yang kedua tambah Mario, pihaknya juga mencari literatur hukum perihal dimana letak kewenangan Inspektorat Daerah dalam melakukan audit, dari literatur yang kami dapat … silakan dari pihak kejaksaan … ada yang mereka dapat tetapi yang kami dapat hanya dua ketentuan peraturan perundang-perundangan. Yang paling lama itu adalah peraturan pemerintah tentang Sistim Pengendalian Interna Pemerintah (SPIP), itu yang kemudian mengamanatkan adanya BPKP, Inspektorat Jenderak, Inspektorat Propinsi dan Inspektorat Daerah dengan perannya masing-masing.
Dikatakannya, kalau kita bicara soal apakah Inspektotar Daerah (IRDA) berwewenang melakukan audit investigatif. Sejujurnya ini hanya bisa kita ketemukan dalam UU Administrasi Pemerintahan. Itu juga saya pikir pihak kejaksaan sudah sampaikan dalam jawaban mereka, dimana dalam UU itu jelas bahwa tujuan audit investigasi merupakan bagian dari audit dengan tujuan tertentu.
Tujuan dilakukannya audit dengan tujuan tertentu ini terang Mario, dalam konteks hukum administrasi pemerintahan itu tujuannya bukan ke arah pidana, tetapi bertujuan untuk ganti rugi administrasi, sehingga kemudian hasil audit itu melakukan tuntutan ganti rugi, bukan ke ranah hukum pidana dalam hal ini pidana hukum korupsi.
Bahkan, kelanjutannya dalam Pasal 21 itu mengamanatkan, terkait dengan apabila ada persoalan hukum terkait dengan pelaksanaan Pasal 20 ini maka dilakukan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) bukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Soal ahli yang dihadirkan oleh kejaksaan dalam sidang pra peradilan, dalam hal Kasie Pidsus sebagai saksi fakta. Kalau kita berdebat, di ruang yuridis, ada ketentuan tentang siapa saja yang boleh dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan. Yang kedua, saksi adalah orang yang melihat, mendengar, menyaksikan dan merasakan sendiri. “saya tidak tahu apakah Kasie Pidsus ini melihat sendiri tindak pidana itu, merasakan sendiri, dan mendengarkan tindak pidana itu. Saya tidak tahu itu, Kemaren saya pada dasarnya tidak mau bicara apa-apa terkait dengan hal itu. Setelah penolakan kami, kemudian majelis tetap pada pendiriannya untuk mengambil sumpah dan keterangan saya dan tim hukum kita sepakat untuk tidak ikut dalam proses itu,” ujarnya.
Ada pertanyaan yang dianggap paling penting dari semua pertanyaan yang diajukan kepada Kasie Pidsus sebagai saksi di persidangan itu itu yakni, yang ditanyakan oleh majelis perihal dari manakah sumber dana DAK ini. Dana yang diaudit inspektorat ini. Dan itu dijawab oleh Kasie Pidsus sebagai saksi bahwa dana DAK ini bersumber dari APBN.
Nah, ada rumusan pasal dalam peraturan pemerintah tentang sistim pengendalian internal pemerintah yang mana dalam pasal itu menjelaskan secara rinci tugas dan kewenangan dari inspektorat daerah. Dalam Pasal 49 ayat (6) dinyatakan bahwa Inspektorat Kabupaten/Kota melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan dalam rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi satuan kerja perangkat daerah kabupaten/kota yang didanai dengan APBD Kabupaten/Kota.
Poinnya menurut Mario ada disitu. Hanya APBD yang bisa awasi oleh Irda. Sedangkan LHP yang mereka keluarkan ini merupakan pengawasan terhadap dana DAK yang bersumber dari APBN. “Kalau kita bicara kewenangan maka disini juga IRDA tidak miliki kewenangan,” ungkapnya. Selayaknya untuk penyidik lain selain KPK dia harus tunduk pada UUD, tunduk pada UU BPK, tunduk pada UU Pengelolaan Keuangan Negara sehingga kemudian menurut pandangan MA juga dalam surat edarannya juga jelas, yang bisa menentukan kerugian negara hanya lah BPK.
Dijelaskannya, karena tidak ada kewenangan yang dimiliki oleh IRDA ini atau kejaksaan harus memiliki hasil audit dari lembaga yang memiliki kekuatan hukum yang jelas maka selayaknya dua alat bukti ini belum terpenuhi, dalam hal pembuktian terhadap Pasal 2 dan Pasal 3 yakni adanya perhitungan kerugian keuangan negara ini.
Jadi, karena IRDA tidak memiliki kewenangan maka produk yang dikeluarkan juga tidak bisa dijadikan sebagai dasar dalam menentukan kerugian negara. “Mungkin bisa ditanyakan kepada kejaksaan, apa dasar hukum IRDA melakukan audit perhitungan kerugian keuangan negara. Kalau memang ada dasar hukumnya kami tidak ada persoalan,” imbuhnya. *** morisweni