Di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Partai Politik dirumuskan bahwa partai politik berfungsi sebagai sarana rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender (Pasal 11:1 huruf e).
Selain itu, undang-undang itu mengatur bahwa Partai Politik berhak: ikut serta dalam pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, serta kepala daerah dan wakil kepala daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan; Pasal 12 (huruf d) dan mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, calon gubernur dan wakil gubernur, calon bupati dan wakil bupati, serta calon walikota dan wakil walikota sesuai dengan peraturan perundang-undangan Pasal 12 (huruf i). Tujuan umum Partai Politik adalah mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, Pasal 10 ayat (1) huruf d.
Partai politik memiliki keanggotaan partai yang bersifat sukarela, terbuka dan tidak diskriminatif bagi warga Negara yang menyetujui Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah tangga (ART) Partai. Warga negara Indonesia dapat menjadi anggota Partai Politik apabila telah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin, Pasal 14 ayat (1) dan (2).
Fungsi partai politik sebagai sarana rekrutmen politik dijabarkan lebih lanjut dalam pasal 29 ayat (1) Partai Politik melakukan rekrutmen terhadap warga negara Indonesia untuk menjadi anggota Partai Politik; bakal calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; bakal calon Presiden dan Wakil Presiden; dan bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Partai politik juga memiliki kewajiban untuk melaksanakan Pendidikan Politik. Pasal 31 (1) Partai Politik melakukan pendidikan politik bagi masyarakat sesuai dengan ruang lingkup tanggung jawabnya dengan memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender dengan tujuan antara lain meningkatkan kesadaran hak dan kewajiban masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; dan meningkatkan kemandirian, kedewasaan, dan membangun karakter bangsa dalam rangka memelihara persatuan dan kesatuan bangsa.
Pada masa penjajahan Hindia Belanda, mulai muncul kesadaran dari tokoh-tokoh nasional untuk mendirikan partai politik. Partai Politik yang paling pertama dibentuk di Indonesia adalah De Indische Partij pada 25 Desember 1912 oleh Douwes Dekker, Ki Hadjar Dewantara, dan Tjipto Mangunkoesoemo. Lahirnya partai ini menandai adanya kesadaran nasional. ikut memainkan peranan dalam pergerakan nasional untuk Indonesia merdeka. Kehadiran partai politik pada masa permulaan merupakan menifestasi kesadaran nasional untuk mencapai kemerdekaan bagi bangsa Indonesia.
Pasca Kemerdekaan Indonesia, Konstitusi Indonesia mengatur bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, serta mengeluarkan pikiran dan pendapat merupakan hak asasi manusia yang diakui dan dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Selanjutnya Undang-Undang tentang Partai Politik mengatur bahwa untuk memperkukuh kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat merupakan bagian dari upaya untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang kuat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, serta demokratis dan berdasarkan hukum maka, perlu dibentuknya Partai Politik. Partai politik dipandang sebagai justifikasi terhadap perwujudan kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
Bila tujuan pendirian partai politik di zaman Hindia Belanda adalah untuk ikut memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia, maka tujuan pendirian partai pada masa pasca kemerdekaan berubah. Tujuan pendirian partai politik tidak diatur secara eksplisit di dalam perubahan undang-undang itu, melainkan diatur secara tersirat dalam defenisi tentang partai politik. Bahwa partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politk).
Karena kemerdekaaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat merupakan hak azasi manusia di satu pihak dan di lain pihak, syarat-syarat pembentukan partai politik dimungkinkan didalam kehidupan berbangsa dan bernegara maka Negara menganut multi partai sejak zaman Orde lama hingga era Reformasi. Paling terakhir, pada Pemilihan Umum 2019, Indonesia memiliki 20 Partai Politik Nasional, tidak terhitung Partai Lokal Daerah Aceh Nangro Darusalam. Dari dua puluh partai politik, hanya Sembilan partai politik yang berhasil mendudukan para anggota DPR. Sebelas partai politik yang lain, tidak berhasil mengirimkan wakilnya ke DPR sebagai akibat diberlakukannya Parleamentary Threshold. Singkat kata, kesebelas partai non seat di DPR korban dari Parleamentary Threshold. Parliamentary threshold adalah cara konstitusional untuk membatasi hak demokrasi warga Negara, teristimewa hak untuk dipilih.
Pemasungan konstitusional terhadap demokrasi (hak untuk dipilih) tidak hanya berhenti pada pemberlakuan parliamentary threshold tetapi juga adanya praktek presidential threshold. Presidential Threshold adalah ambang batas kepemilikan kursi di DPR atau raihan suara partai politik untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden. Presidential threshold pertama kali diterapkan pada Pemilu 2004, pemilihan presiden secara langsung pertama di Indonesia. Saat itu, hanya partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki minimal 15% jumlah kursi DPR atau 20% perolehan suara nasional yang bisa menyalonkan presiden. Hal ini diatur dalam UU nomor 23 tahun 2003. Selanjutnya, pada Pemilu 2009 ambang batas tersebut dinaikan menjadi minimal 20% jumlah kursi DPR atau 25% perolehan suara nasional dalam pemilu legislatif. Perubahan tersebut tertera dalam UU nomor 42 tahun 2008.
Karena praktek yang telah melampaui demokrasi an sich inilah maka calon-calon presiden dan wakil presiden yang potensial tidak mendapatkan pintu masuk. Aturan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold akhirnya digugat pada Desember 2021. Gugatan tersebut berasal dari tiga pihak, dan salah satunya mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo. Ia meminta MK membatalkan ketentuan Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017. Pasal tentang ambang batas itu dinilai telah menghilangkan hak konstitusional setiap warga untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin bangsa. Selain oleh Gatot. mantan Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) M. Busyro Muqoddas, hingga mantan Menteri Keuangan M. Chatib Basri. Namun, seluruh gugatan itu ditolak. Sekalipun ditolak, hal itu tak menyurutkan spirit sejumlah pihak untuk menguji ketentuan tentang presidential threshold terhadap konstitusi karena hal itu dinilai sebagai pemasungan demokrasi.