KALABAHI, RADARPANTAR.COM-Ketua DPRD Kabupaten Alor, Enny Anggrek tidak memenuhi permintaan Keplosian Resort Alor untuk melakukan mediasi terhadap kasus dugaan pelanggaran UU ITE yang dilaporannya. Laporan ini menjerat salah seorang aktivis Alor, Lomboan Djahamou. Langka bijak kepolisian memediasi Enny Anggrek dan Lomboan gagal.
Sebagaimana yang disaksikan RADARPANTAR.COM di Satuan Reserse dan Kriminal (SAT RESERSE) Kepolisian Resort Alor, hanya Lomboan Djahamou selaku terlapor yang hadir memenuhi panggilan kepolisian, sedangkan Ketua DPRD Kabupaten Alor, Enny Anggrek selaku pelapor tidak nampak di Mapolres Alor.
Kurang lebih 1 Jam Kasat SERSE Polres Alor, IPTU Mansur Mosa bersama penyidik dan Lomboan Djaha Mou menunggu kedatangan orang nomor satu di DPRD Kabupaten Alor untuk melakukan mediasi tetapi yang bersangkutan tak kunjung datang. Mediasi untuk mempertemukan Enny Anggrek dan Lomboan Djahamou pun akhirnya gagal.
Lomboan Djaha Mou kepada RADARPANTAR di Mapolres Alor mengatakan, kedatangan pihaknya di Mapolres Alor untuk melakukan mediasi itu bukan muncul dari niatnya untuk menyelesaikan kasus yang dilaporkan Enny Anggrek terhadap dirinya melalui jalur dalam. “Saya datang di polisi untuk memenuhi panggilan polisi sebagai warga negara yang taat hukum. Proses mediasi yang ditempu polisi itu berdasarkan semangat surat Edaran Kapolri bagi para pelapor dan terlapor dalam kasus pelanggaran UU ITE. Soal mau damai atau tidak tergantung dari saya sebagai terlapor maupun Enny Anggrek sebagai pihak pelapor,” tandas Lomboan Djahamou sembari menambahkan, yang terpenting dari semua itu sebagai warga negara yang baik kita harus menghormati langka Polres Alor menerapkan Surat Edaran Kapolri bagi para pihak dalam kasus dugaan pelanggaran UU ITE.
Lomboan Djahamou menegaskan bahwa sebenarnya ia tidak perlu memberi permohonan maaf terhadap Ketua DPRD Kabupaten Alor, Enny Anggrek. Sebaliknya, Ketua DPRD Kabupaten Alor, Enny Anggrek lah yang harus menyampaikan permohonan maaf kepada dirinya dan seluruh masyarakat Kabupaten Alor.
Jika sampai terjadi mediasi antara dirinya dan Ketua DPRD Kabupaten Alor demikian Lomboan, ia akan menyampaikan beberapa hal sebagai syarat. Berdarasarkan Surat Edaran Kapolri bahwa terlapor diberikan kesempatan untuk menyampaikan permohonan maaf. “Karena saya yang mau sampaikan permohoan maaf maka saya tanya dulu, saya punya salah apa dulu. Saya punya salah disampaikan dulu, saya tau saya punya salah dulu baru saya minta maaf. Kalau saya tidak salah bagaimana mungkin saya minta maaf,” ungkapnya.
Menurut dia, Ketua DPRD Kabupaten Alor harus mengetahui filosofis berbangsa dan bernegara bahwa semua abdi negara atau mereka yang makan minum dari uang rakyat itu pelayan masyarakat. Jadi, salah kapra kalau Ketua DPRD Alor melaporkan dirinya di polisi.
Ketua DPRD Alor tambah Lomboan, harus mengerti jika ongkos demokrasi kita di tanah air ini sangat mahal. Ketua DPRD Alor tidak ikut memperjuangkan itu di tahun 1997/1998, mahasiswa berjuang dengan turun di jalan agar demokrasi dibuka krannya. “Karena demokrasi yang dibayar dengan harga yang mahal inilah dia yang warga keturunan juga bisa menjadi anggota dan kemudian menjadi Ketua DPRD. Dia tidak boleh hianati demokrasi yang diperoleh dengan harga yang mahal ini dengan menutup krannya. Masa orang kritik dia koq dia datang lapor kita di polisi,” ungkap Lomboan.
Ditambahkannya, UUD 1945 itu induk dari semua peraturan perundang-undangan yang berlaku di NKRI memberikan ruang bagi masyarakat untuk menyampaikan pendapat. “Saya sampaikan pendapat bahwa dia tersangka koq hoaxnya dimana,” terangnya.
Selanjutnya kata Lomboan, budaya kita di Alor itu sangat menghargai pendatang. Kenapa ini penting untuk saya sampaikan … tidak pernah di kampong ini orang demo usir orang Sulawesi, demo usir warga keturunan. Di pasar saja kita biarkan mama-mama dong jualan di tanah, dong jualan di kios. Jadi, jangan dibolak-balik ini. Kita sudah sangat menghormati itu jadi mereka jangan menggunakan kebaikan hati kita, budaya kita saling menghormati ini pakai injak-injak kita, ujarnya.
Karena jelasnya, kalau ia menyampaikan permohonan maaf tanpa mengetahui apa kesalahannya maka ini menjadi preseden buruk bagi demokrasi di daerah, dan ini sangat berbahaya.
Dia mengaku bukan baru pertama kali mengkritisi Ketua DPRD ketika dijabat Enny Anggrek. Sejak Ketua DPRD Alor dijabat Drs. Moh. Kinanggi hingga Marthinus Aloepada, ia sudah melayangkan kritik kepada mereka tetapi tidak pernah melaporkan pihaknya ke polisi. Ketua DPRD Kabupaten Alor, Enny Anggrek, SH tidak berhasil dikonfirmasi perihal tidak memenuhi panggilan polisi untuk melakukan mediasi. Beberapa kali media ini mengkonfirmasi melalui pesan whatsapp tetatapi tidak mendapatkan balasan. *** morisweni