KALABAHI,RADARPANTAR.com-Surat penegasan dari Kejaksaan Negeri Alor kepada para Kepala Desa dan Camat se-Kabupaten Alor agar mengutamakan swakelola dalam pekerjaan yang dibiayai dengan dana desa masih mengundang polemik. Dari Kecamatan Teluk Mutiara, Sekretris BPD Desa Air Kenari Viktor Sumaa, SE memprediksi jika semuanya pekerjaan dipaksakan dengan metode swakelola maka banyak Kepala Desa dan TPK yang akan bermasalah hukum. Sedangkan Kepala Desa Tasi, Kecamatan Lembur Obet Kamesa mengklaim banyak pekerjaan yang terancam mandek jika semuanya harus dikerjakan secara swakelola.
Sumaa dan Kamesa mengemukakan hal ini ketika diminta tanggapan media ini di sela-sela pengukuhan perpanjangan masa tugas 1.556 anggota BPD dari 158 Desa di Kabupaten Alor oleh Wakil Bupati Alor Rocky Winaryo, SH, MH di Kompleks Gerja Pola Kalabahi, Jumat (22/08/2025).
Ini soal pemahaman masyarakat, menyangkut dengan kesediaan SDM, siapa yang menjadi TPK dan lain-lain itu kan kurang juga di desa. Apalagi kegiatan fisik dalam satu tahun anggaran itu lebih dari dua, sebut Sumaa.
Yang sekarang saja meski tidak semuanya swakelola tetapi ada satu-dua kepala desa atau perangkat lainnya ditemukan masih nakal, ujar Sumaa sembari menambahkan, banyak Kepala Desa di Alor yang baik tetapi karena memiliki keterbatasan sumber daya, jadi mau pegang mana tinggal mana. Ini bisa menimbulkan persoalan hukum.
Seandainya kita kembali ke swakelola murni, saya jamin … saya yakin banyak Kepala Desa yang akan bermasalah hukum. Dan juga TPK banyak yang bakal bermasalah hukum, alasan keterbatasan sumber daya, katanya menambahkan.
Meski demikian Sumaa mengaku, banyak Kepala Desa dan TPK yang baik, bersih tetapi karena terbatas dari aspek sumber daya, sehingga berpotensi mengalami masalah hukum dalam mengelola dana desa, kalau kita kembali ke swakelola murni.
Mantan aktivis yang di jamannya yang sering turun jalan memimpin demo menetang kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat kecil ini menegaskan, beda masyarakat dulu dengan masyarakat sekarang. Kalau masyarakat dulu demikian Sumaa, jangankan didorong dengan swakelola, didorong dengan padat karya saja, mereka datang. Dan padat karya itu tidak ada nomenklatur anggaran yang mengatur bahwa ini kegiatan jenis ini dan seterusnya. Itukan hanya bagaimana desa punya kreativitas melalui pembangunan di desa dengan masyarakat bekerja bersama-sama secara sukarela.
Dana Desa sekarang inikan menurut Sumaa, dikelola pemerintah desa berdasarkan Juknis dan Juklak, ada sekian persen untuk ketahanan pangan, ada sekian persen untuk infrastruktur dan lain sebagainya.
Masyarakat juga tahu itu, ketika kita omong soal pekerjaan infrastruktur, kita ajak mereka mari kita swakelola. Mereka bisa saja bilang itu uang negara koq, swakelola buat apa. Sehingga bisa swakelola juga tetapi terhadap jenis-jenis pekerjaan yang mana dulu. Tidak semuanya dikerjakan dengan metode swakelola. Apalagi menyangkut dengan pengadaan-pengadaan yang besar. Itu memang harus dipihak ketigakan, ungkapnya.
Menurut dia, kalau semuanya diswakelolakan maka kita akan berhadapan dengan masalah terbatasnya SDM, apalagi masyarakat sudah terhipnotis kalau kita bicara dana desa itu kita bicara proyek, ada uangnya. Selanjutnya, unsur-unsur desa yang nanti berperan dalam pekerjaan swakelola ini SDM-nya juga belum terlalu siap, apalagi kegiatan fisiknya lebih dari dua atau tiga kegiatan dalam satu tahun anggaran.
Kalau saya, sepakat dengan apa yang disampaikan Kejaksaan Negeri Alor melalui surat penegasan tetapi harus juga dilihat soal ketersediaan sumber daya manusia dan juga pemahaman masyarakat hari ini tentang dana desa.
Orang mulai melihat sebagai proyek, kita mau swakelola orang akan bilang dia punya uang ada ko tidak, itu yang menjadi masalah disitu, pungkasnya.
Sementara itu Kepala Desa Tasi, Kecamatan Lembur, Kabupaten Alor Obed Kamesa menyambut baik surat edaran dari Kejaksaan Negeri Alor yang mewajibkan pekerjaan yang dibiayai dengan dana desa menggunakan metode swakelola karena bisa memberdayakan masyarakat.
Kepala Desa Tasi, Kecamatan Lembur, Kabupaten Alor, Obed Kamesa. FOTO:OM MO/RP
Cuma kita harus berpikir juga mengenai keberhasilan pelaksanaan sebuah pekerjaan yang dibiayai dengan dana desa, khusus kegiatan fisik. Kalau kebiasaan yang sudah kami jalankan itu upah kerja, material lokal yang ada di desa itu yang kami gunakan. Tetapi semen kan dan bahan non lokal lainnya itu harus kita bawa dari kota. Apalagi menghadapi sebuah fisik pekerjaan, ini kita bicara swakelola ini agak sulit, karena masyarakat di desa itu kita mau omong, motor yang mereka pakai saja itu setengah mati, ada yang motor dealer, kemudian ada yang motor bekas baru beli. Apalagi orang mau beli truck taruh di kampung baru kita mau pakai, terangnya berargumen.
Jadi, kami terpaksa harus pakai pihak ketiga, sehingga pekerjaan dari anggaran yang bersumber dari dana desa itu bisa berjalan dengan baik, sesuai dengan rencana, sebutnya menambahkan.
Kamesa mengaku mengapresiasi sekali surat edaran dari Kejaksaan Negeri Alor yang mewajibkan pekerjaan dari anggaran yang bersumber dari dana desa menggunakan metode swakelola, cuma bisa mandek di pelaksanaan pekerjaan.
Menurut Kamesa, soal tenaga kerja itukan selama ini pihaknya merekrut dari desa untuk pemberdayaan, tidak bisa ambil dari luar desa, hanya kesulitan di kendaraan untuk memobilisasi material.
Kejaksaan kata Kamesa memiliki fungsi pengawasan atau pengendalian dana desa tetapi kita juga harus bersama-sama melihat keberhasilan pelaksanaan pekerjaan yang dibiayai dengan dana desa.
Kalau murni menuju swakelola sebagaimana yang ditegaskan kejaksaan maka tegas Kamesa, pekerjaan dana desa tidak saja menimbulkan persoalan baru tetapi pekerjaan bisa mengalami kegagalan. Soalnya kami tidak ada oto (truck). Yang ada oto inikan pihak ketiga mereka yang ada oto. Kami di desa inikan tidak ada oto, pemerintah desa apalagi.
Kemudian material lokal ini kan dari aspek kualitas juga beda, kalau misalnya saya di Desa Tasi, saya tidak bisa bangun rabat jalan dengan pasir di Tasi, itukan agak sulit. Saya pengadaannya dari desa lain, ini membutuhkan kendaraan, butuh waktu dan lain-lain. Jadi ya … itulah, sulit, ungkapnya.
Menanggapi pertanyaan media ini bagaimana kalau pekerjaan masyarakat yang kerja, sedangkan kendaraan disewakan ke pihak ketiga, Kamesa mengaku bisa juga, tetapi pekerjaan dana desa inikan ada dia punya aturan. Sudah Rp. 200 Juta ke atas harus lelang. Dia mengaku meskipun tidak semua pekerjaan dikerjakan dengan swakelola selama ini tetapi pekerjaan yang dilaksanakan pihak ketiga berlangsung bagus. Kami mengalami kendala tetapi terus dilakukan komunikasi dan koordinasi sehingga tidak sampai fatal, dan pekerjaan berjalan dengan baik atau normal meski melewati deadline waktu. *** morisweni