Terbentur Soal Modal, Dua Kades di Alor Keberatan Wajibkan Pengadaan Barang-Jasa di Desa Utamakan Metode Swakelola

Kades Lembur Barat dan sejumlah tokoh dalam suatu kegiatan santai. FOTO:DOK
Kades Lembur Barat dan sejumlah tokoh dalam suatu kegiatan santai. FOTO:DOK

KALABAHI,RADARPANTAR.com-Terbentur masalah modal, dua Kepala Desa di Kabupaten Alor keberatan terhadap surat Kepala Kejaksaan Negeri Alor yang mewajibkan pengadaan barang dan jasa yang dibiayai dengan dana desa dilaksanakan dengan mengutamakan metode swakelola.  Dua Kepala Desa mengaku sulit utamakan metode swakelola karena  pengelolaan dana desa menganut prinsip ada barang, ada uang. Dari mana TPK dan pemerintah desa mau dapat modal untuk belanja terlebih dahulu baru dilakukan pencairan uang.  

Kepala Desa Lembur Barat, Kecamatan Lembur, Kabupaten Alor, Abner Yetimau mengatakan, swakelola murni sebagaimana yang disampaikan Kepala Kejaksaan Negeri Alor melalui surat  Nomor : B- 1241 /N.3.21/Dek.1/08/2025, Tanggal  04 Agustus 2025 siap dilaksanakan.  

Bacaan Lainnya

Yang jadi soal sekarang menurut Yetimau, progres fisik untuk semua pekerjaan yang dibiayai dengan dana desa itu mencapai 90-an persen baru kita ajukan pencairan. Kalau semua pekerjaan itu dilakukan melalui mekanisme swakelola murni, kita di desa khususnya TPK dan pemerintah desa mau ambil dari mana.  

Kalau pemerintah mewajibkan harus utamakan swakelola maka anggaran dana desa untuk kegiatan pengadaan barang dan jasa itu pencairan terlebih dahulu baru kita buat kegiatan di desa. Karena kita di desa juga kewalahan, kita mau ambil uang dari mana, sebut Yetimau.

Di desa itukan demikian Yetimau, sementara yang masyarakat buat koperasi simpan pinjam ini bunganya 25 persen. Jadi, kalau Bapak Kajari juga minta harus swakelola murni ya dana yang dianggarkan itu dicairkan terlebih dahulu baru kita laksanakan kegiatan.  

Tapi kalau barang ada baru kita cairkan uang, terus harus dengan mekanisme swakelola murni kata Yetimau, kita mau urus pelayanan di desa atau kita mau urus masalah. Yang jadi soal itu kita  mau ambil uang dari mana.  

Yang sedang dilaksanakan saat ini menurut dia, sudah yang terbaik, itu supaya tidak ada peluang bagi kepala desa menyalahgunakan kewenangan.

Dia kemudian memberikan contoh, kegiatan fisik misalnya membutuhkan 100 sak semen tetapi oleh pengelola dibuat hingga 150 sak. Uangkan mereka ada pegang to … rekayasa buat kuitansi fiktif.

Jadi menurut Yetimau, mau swakelola na uang itu dicairkan terlebih dahulu baru kita belaja barang untuk kegiatan pengadaan dan kegiatan fisik. Tetapi dengan kondisi barang diadakan terlebih dahulu baru cairkan uang itu tidak bisa. Kita mau atau tidak harus pakai penyedia jasa. Harga ya kita sesuaikan dengan PPN PPH. Kalau harga semen misalnya 2 ribu kita tidak bisa bilang 2 ribu … paling tidak harus 3 ribu, karena biaya transportasi dan ditambah dengan PPN, PPH 12,5 persen.   

Kepala Desa Tuleng, Kecamatan Lembur, Kabupaten Alor, Yoksan Samay ketika dikonfirmasi mengaku menyambut baik surat Kepala Kejaksaan Negeri Alor yang mewajibkan pekerjaan dana desa mengutamakan mekanisme swakelola. 

Prinsipnya kami setuju tetapi sumber daya kami di desa belum terlalu siap untuk menerapkan swakelola murni, terutama dari aspek ketersediaan modal.  Karena pengelolaan dana desa itu menganut prinsip ada barang baru ada uang. 

Selama ini yang pihaknya lakukan adalah barang non lokal itu ditunjuk penyedia untuk menanganinya, sedangkan material lokal itu kalau  yang ada di desa memenuhi syarat maka diambil dari masyarakat setempat.  

Selanjutnya demikian Samay, dari aspek legalitas tidak ada pihak ketiga di desa yang memiliki komptensi untuk pengadaan barang non lokal, karena itu yang kemudian diberikan kepercayaan kepada pihak ketiga yang legal dan memiliki modal yang mumpuni untuk pengadaan barang non lokal.    

Melalui surat Nomor : B- 1241 /N.3.21/Dek.1/08/2025, Tanggal  04 Agustus 2025, Sifat : Biasa dengan perihal  Penegasan Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa di Desa secara Swakelola yang diteken Kepala Kejaksaan Negeri Alor Mohammad Nursaitias, SH, MH  itu ditegaskan pelaksanaan pengadaan barang/jasa di desa wajib mengutamakan metode swakelola sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 61 ayat (3) Perbup Alor Nomor 6 Tahun 2020.

Dijelaskan Kejari Alor, pengadaan secara swakelola dilakukan dengan melibatkan Tim Pelaksana Kegiatan (TPK) dan masyarakat desa guna mendukung prinsip pemberdayaan, gotong royong serta optimalisasi potensi lokal, dengan mengedepankan asas-asas,  efisien, yaitu memanfaatkan dana dan sumber daya seminimal mungkin untuk hasil yang maksimal;  Efektif yakni sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat dan memberikan manfaat sebesarbesarnya;  Transparan yaitu proses dan informasi pengadaan mudah diakses dan diketahui oleh masyarakat desa;  Pemberdayaan masyarakat, menjadikan pelaksanaan kegiatan sebagai sarana pembelajaran, pelibatan aktif warga, serta peningkatan kapasitas lokal;  Gotong royong dengan mengutamakan pemanfaatan tenaga kerja dan potensi desa setempat;
serta  Akuntabel yakni seluruh proses dan hasil pengadaan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan administrasi. 

Dalam surat Kejaksaan Negeri Alor itu dijelaskan, pengadaan melalui metode penyedia hanya dapat dilakukan apabila  kegiatan tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh perangkat desa atau masyarakat, terdapat kebutuhan atas barang/jasa dengan keahlian atau teknologi khusus atau untuk mendukung pelaksanaan swakelola, seperti pengadaan material/barang yang tidak tersedia di Kabupaten Alor.


Untuk kegiatan pengadaan barang/jasa dalam APBDesa tahap I dan tahap II Tahun Anggaran 2025 yang belum dilaksanakan agar segera dilaksanakan dengan mengutamakan metode swakelola sesuai ketentuan yang berlaku, tulis Kajari Alor dalam bagian lainnya suratnya.


Kami mengingatkan bahwa keuangan negara harus dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan dimana segala bentuk perbuatan yang bertentangan dengan hukum, termasuk penyimpangan dalam pelaksanaan pengadaan, akan menimbulkan konsekuensi hukum di kemudian hari. Oleh karena itu, sangat penting bagi seluruh pihak untuk menjalankan kegiatan secara transparan, akuntabel, dan sesuai ketentuan yang berlaku dan menghindari segala bentuk praktik tindak pidana korupsi yang merugikan Desa,  tulis Nursaitias melalui surat yang ditembuskan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur,  Wakil Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur,  Asisten Bidang Intelijen Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur,  Asisten Bidang Pengawasan Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur, Bupati Alor dan  Ketua DPRD Kabupaten Alor.   

Surat Kejaksaan Negeri Alor merupakan tindak lanjut dari  Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,  Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa,  Peraturan LKPP Nomor 12 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pengadaan Barang/Jasa di Desa,  Perbup Alor  Nomor 5 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pengadaan Barang/Jasa di Desa,  Perbup Alor No. 6 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Keuangan Desa,  Perbup Alor Nomor  8 Tahun 2022 tentang Perubahan Perbup 5 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pengadaan Barang/Jasa di Desa dan  Perbup Alor Nomor 7 Tahun 2022 tentang perubahan Peraturan Bupati Alor Nomor  6 Tahun 2020 tentang
Pengelolaan Keuangan Desa.  *** morisweni

Pos terkait